Obrolan senja, Dinegri Senja-Maroko- Part 1

Obrolan Senja, Di Negri Senja

oleh: Moch. Nurul Alim

 

Vito hitam pabrikan Mercedes Benz berplat kuning bertuliskan CD (corps diplomatique),tepat berhenti didepan titik mataku. Saya tidak bertanya-tanya dan sangat tahu kalau saja mobil ini  pasti adalah mobil empunya KBRI, karena mobil ini selain mobil dinas dia adalah mobil jemputan yang biasa dipakai untuk ngangkut mahasiswa dari Kbri ke Sekertariat PPI. Tapi yang membuat saya bertanya , ngapain  mobil ini sampai berhenti disini dan siapa yang ada didalamnya?.

Pintu mobil pun terbuka, saya menajamkan pandangan untuk melihat ada siapa saja yang ada dibalik pintu mobil tersebut. Mas Prabowo yang mengemudikan mobil itu Nampak keluar dengan terburu dan langsung menuju pintu depan mobil itu dan membukakannya. Dari balik pintu yang sedikit terbuka turunlah kaki beralaskan sepatu sandal hitam dan saya melihat remang-remang rambut panjang terburai dari kaca hitam mobil yang pekat itu. Cak Nun keluar dari mobil .

Kemudian pintu geser bagian tengah dibuka, Sepertinya bukan hanya seorang yang ada di dalam mobil tadi. Keluarlah wanita berkerudung berkalung syal ,wanita yang tidak asing lagi dilayar televisi  pada tahun 90 an,yaitu Mbak Via istri dari cak Nun, kemudian disusul Hayya ( putri cak Nun) dan mas Zakki (Adik Cak Nun).

Saya menghamburkan diri ,mendekat ke Mobil, dan mas Bowo memperkenalkan ku kepada cak Nun “ Ini Alim, mahasiswa disini cak ..arek Malang!” . Saya menuju cak Nun kemudian saya cium tangannya. “Namanya siapa Dek?” ,tanya ramah Cak Nun sembari melepas jabatan hangatnya.
Nurul Alim Cak!“jawabku singkat. Aku sempat bingung, enaknya yang cocok saya panggil cak Nun  dengan panggilan  cak, mbah, kyai, pak atau ustadz?. Tapi untuk sebutan yang terakhir (Ustadz) sepertinya sangat tidak klops disandingkan pada nama Emha ,entah kenapa?. Ditengah kebingungan pemanggilan beliau, akhirnya saya tetapkan untuk memanggil  beliau cak, panggilan familiar dan akrab ditelinga anak muda . Kemudian saya lanjutkan jabatan tangan saya .

“Dari mana aslinya Dek?”. “ndughi  Malang Pak”,jawabku kikuk karena memanggilnya cak ,meloncat ke Pak.
hmmm, teko malang tah!”sahut cak Nun.

Kemudian mas Zakki, menimpali, “sampean Malange ngendhi?”. Saya jawab, “saya dari Tumpang, sebelah candhi Jagho.

 “Lah…bojoku yo tekan kono dek!” ternyata istri mas Zakki adalah tetangga sebelah rumahku. Dari sini keakraban terjalin.

Memang seharusnya seorang ketika bertemu saudaranya sesama manusia ,sebaiknya berusaha menghilangkan tembok-tembok pemisah dari dirinya dan dia. Siapapun Anda, dan siapapun dia. Saya  belajar dari cak Nun tentang bagaimana ilmu menghargai dan mengintimkan suasana. Tidak melihat siapa itu yang diajak bicara.  Setidaknya ketika itu terlaksana maka bahasa cinta dan penghormatanlah yang berlaku.Keakraban yang saya temui juga terjalin dengan rekan-rekan lain saya saat menjabat dengan Beliau.

Lalu Kami digiring masuk ke appartement mas Bowo tepat saat matahari terlihat agak kuning dan para Kodok mengorek-ngorek lirih bersahut-sahutan, mungkin mereka paham, ini belum waktunya, jadi tidak berani kencang-kencang ngoreknya.

Diruang tamu, cak Nun bertanya-tanya mengenai kampus, mozaik kehidupan mahasiswa Indonesia  di Maroko, dan berapa jumlah keseluruhan mahasiswa disini. Beliau terlihat kaget ketika saya bercerita bahwa mahasiswa Indonesia semuanya berbeasiswa, beliau bertanya”Itu beasiswa dari mana dek?” ,

dari pemerintah cak!” saya sengaja jawab dengan bahasa global, biar beliau penasaran dan bertanya lagi, sekaligus biar tahu tentang kepedulian Pemerintah Indonesia terhadap mahasiswanya.

ya kerajaan sini cak, opo gelem negoro mbiayai arek-arek niku“ tambahku. cak Nun menghisap dalam-dalam 234nya, ditelan, lalu dihembuskannya.

“ kerajaan disini memeberi beasiswa penuh kepada semua warganya cak, dari TK sampai lulus Doktor semua gratis,termasuk mahasiswa asing . Dan tidak Cuma gratis bea sekolah, mereka juga dapet uang tunai untuk sangu”.  Cak Nun mengangguk dalam.

Indonesia paling masih belum mampu cak kayak gini”saya  memanasi.

yo mampu dek,Indonesia sangat mampu, sangat mampu!..sampean lihat tanah didepan rumah ini saja, bedakan dengan tanah kita yang subur itu.ini baru sebatas tabah ,belum yang dibawah lapisannya, Cuma mereka aja yang gak mau, pemerintah yang gak mau.” kata cak Nun dengan nada kesal.

Sakjano yo mampu banget pemerintah kui mbiayai koyo ngono iku, satu orang anggota dewan saja, mereka itu mampu mbiayain semua mahasiswa disini yang jumlahnya 90an orang, sangat mampu “,tandas cak Nun.

disini juga jarang ada kenaikan barang cak, selama tahun-tahunan saya disini harga-harga lurus stabil, menjelang puasa dan lebaran gak ada yang melonjak harganya kayak disana. Jadi meski harga BBM naik sedirham gak ada yang demo, semua santai-santai saja sebab ada subsidi buat warga” ,tambah Mas Bowo yang bertahun-tahun sudah tinggal di Kerajaan ini .

yo ngene iki rojo seng nyunggi wakul, lek pemerintah kita lak mualeng-maleng kuabeh!, mereka itu maling,njambret duite rakyat, panggilan koruptor iku kapiken, mereka itu copet” sergah cak Nun.

“wes, ojo ngomongi wong-wong iku (pemerintah) ,nggarai atiku mangkel “ ,kata cak Nun membanting pembicaraan.

Mendengar kata cak Nun tentang raja yang nyunggi wakul, saya teringat ulasan cak Nun dalam tulisannya “Gundul Pacul Foolling Around, cengengesan” yang menjelaskan makna nyungi wakul diatas. Nyunggi adalah membawa sesuatu dengan meletakkannya di atas kepala. Yang di-sunggi adalah wakul. Bakul tempat nasi. Nasi adalah kiasan dari sebuah kekayaan rakyat, minyak, gas, tanah, ikan itu nasi rakyat,sebuah amanat kesejahteraan rakyat. kepercayaan yang sangat mahal untuk menciptakan masyarakat adil makmur. Bakul adalah otoritas, legalitas dan legitimasi kepemerintahan, yang ditempuh dan dipersembahkan oleh rakyat dengan biaya yang sangat mahal.

Bakul tempat nasi itu tak sekedar ditenteng dengan tangan, apalagi ditaruh dalam rangsel di belakang punggung. Amanat itu sedemikian tinggi dan sakral maknanya sehingga diletakkan diatas kepala. Ditaruh di lapisan harkat yang lebih tinggi dari kepala individu kita sendiri.Diposisikan pada derajat yang lebih mulia dibanding kepentingan diri sendiri, golongan dan apapun saja dalam skala kehidupan berbangsa dan bernagara. Seperti pembangunan fasilitas umum yang memanjakan rakyat Maroko.

Nyunggi wakul itu pekerjaan paling mulia. Dan dalam pekerjaan nyunggi wakul pemerintah kita masih suka  gemelelengan. Tidak sungguh-sungguh. Akting sana akting sini. Palsu luar, palsu dalam. Fooling around. Berbodoh-bodoh berdungu-dungu beriseng-iseng dulu, kemarin, hari ini dan besok. Politik kita permainkan. Kesakralan kata “rakyat” kita manipulasikan. Moral dan nurani kita remehkan. Agama kita akali. Tuhan kita tipu.

Dan Akhirnya — “Wakul ngglimpang, segane dadi sak latar….”. Bakul amanat kesejahteraan rakyat itu terjatuh dari kepala pemangku kuasa, yang harusnya diantar kedepan pintu rumah itu ,tercampak di tanah. nasinya tumpah dan berceceran di halaman negeri indah ini. Seharusnya padi ditumbuh-kembangkan, nasi didistribusikan dalam keadilan. Tapi ini tumpah dan berceceran .

“Indonesia nggak bisa terus seperti ini. SBY itu nggak jelas dia kepala negara atau kepala pemerintahan. Bahkan dia menjadi pemilik Indonesia. Seharusnya, yang memiliki tanah Indonesia adalah rakyat – yang merupakan wakaf dari raja-raja jaman dahulu. “

Senja itu,cak Nun terlihat sangat kecapekan sekali , terlihat sedikit pucat. Beliau diam untuk beberapa menit sembari membuka-buka kardus kartu SIM yang masih tersegel dan membuka kasing i-phone hitamnya. Beberapa saat kemudian, gorengan pisang dan tempe goreng disajikan Mbak Nur istri mas Bowo dari dapur,Nampak masih panas dan berminyak. Semua mata tertuju kesebuah piring Kristal yang sudah tertata rapi penuh dengan makanan  langka di negri Ini , tempe kedelai produksi rumahan karya mbak Nur sendiri dan pisang Raja yang secara eklusif dibawa langsung dari Indonesia. Ternyata dibalik diam lemasnya cak Nun itu, karena kosongnya perut sebab perjalanan jauh  dan belum mendapatkan jamuan sama sekali dari bandara. semua menikmati hidangan.

Iki lho surgo..” kata Caknun.

BERSAMBUNG…

Tinggalkan komentar