#Maqashid : Ringkasan Biografi Imam Syatibi

Ringkasan Biografi Imam Syatibi

a. Imam Syatibi dan Lingkungannya
Nama lengkap Imam Syathibi adalah Abu Ishak Ibrahim bin Musa bin Muhammad Allakhami al-Gharnathi. Beliau lebih terkenal dengan sebutan Assyatibi . Tempat dan tanggal kelahiran Imam Syatibi tidak ada dalam catatan sejarah, oleh karena itu banyak ditemukan perbedaan pendapat seputar persoalan ini, namun pendapat yang paling kuat memilih beliau dilahirkan pada sekitar tahun 730 H, dan meninggal pada tahun 790 H .
Syatibi sendiri adalah nisbat kepada sebuah daerah di sebelah timur Andalus bernama Syatibah (Sativa) yang menjadi daerah asal orang tua Imam Syatibi. Daerah ini termasuk daerah yang cukup ramai pada masa Islam, banyak ulama-ulama lain ternama lahir dari daerah ini, diantaranya adalah Abu Muhammad al Syatibi .
Pada tahun 1247 M keluarga Imam Syatibi hijrah dari Sativa ke Granada karena kota Sativa berhasil ditaklukkan oleh raja Spanyol Uraqun setelah peperangan yang berkecamuk semenjak tahun 1239 H.
Granada adalah sebuah kota kecil yang terletak di sebelah tenggara kota Biirah dan masuk dalam wilayahnya. Biirah sendiri adalah pusat propinsi yang waktu itu menjadi pangkalan militer bagi pasukan dinasti Umayyah di Andalus. Setelah dinasti Umayyah jatuh dan terjadi kerusuhan di kota tersebut, penduduknya kemudian hijrah ke Granada yang pada akhirnya menjadi pusat kota di wilayah tersebut. Di kota Granada inilah Imam Syatibi akhirnya tumbuh dan berkembang.
Pada masa Imam Syatibi hidup, Granada di bawah pemerintahan dinasti Bani Ahmar (635-897 H). Bani Ahmar adalah keturunan Sa’d bin Ubadah, salah seorang sahabat Anshar. Mereka disebut Bani Ahmar karena warna kulit mereka yang agak kemerah-merahan. Bahkan orang-orang Spanyol menyebut salah satu raja mereka dengan sebutan Barmecho, yaitu bahasa Spanyol yang berarti warna orange yang agak kemerah-merahan.
Pada masa dinasti Bani Ahmar kondisi politik di wilayah tersebut tidak begitu stabil. Konspirasi, intrik politik, perebutan kekuasaan dan pertumpahan darah menjadi warna yang dominan dalam perjalanan pemerintahan Bani Ahmar setelah ditinggalkan oleh pendiri dinasti, al Ghalib Biamrillah. Hal itu seperti yang dituturkan oleh Lisanuddin bin al Khotib, salah seorang menteri pada masa Bani Ahmar .
Kondisi politik yang buruk di tingkat atas ini membawa dampak yang negative pada kondisi sosial di masyarakat. Pembunuhan, perampokan dan perampasan sering terjadi di mana-mana. Dekadensi moral merambat dalam tubuh masyarakat. Perilaku penguasa dan masyarakat sudah banyak yang menyimpang dari jalur agama, minuman keras dan khasis (ganja) dikonsumsi oleh masyarakat secara terang-terangan, bahkan mereka tidak menganggap ganja sebagai sesuatu yang diharamkan dalam agama, seperti yang terekam dalam sebuah syair yang populer pada masa itu .
Kondisi masyarakat yang demikian memprihatinkan ini cukup wajar terjadi apabila kita melihat perilaku para penguasanya yang disibukkan dengan urusan mencari sekutu dan dukungan untuk kelompoknya masing-masing guna merebut maupun melanggengkan kekuasaan mereka, sehingga kewajiban dan tanggung jawab yang harusnya mereka emban terhadap rakyat menjadi terbengkalai, perkara-perkara yang terjadi dalam masyarakat hilang dari sorotan dan perhatian mereka, dan hukum serta aturan pun pada akhirnya tidak berjalan dengan semestinya.
Kekacauan kondisi yang terjadi dalam masyarakat waktu itu tidak berhenti di sini saja, justru makin diperparah dengan hadirnya sebagian “ulama” yang menyebarkan kesesatan dengan mengeluarkan fatwa sesuai keinginan nafsu mereka, padahal mereka seharusnya menjadi kelompok yang paling kompeten dalam menjaga kemurnian agama dan mengemban tugas amar ma’ruf dan nahi munkar di tengah-tengah masyarakat yang telah menguap unsur-unsur baik dari dalam diri mereka. Imam Syatibi menyontohkan adanya “ulama” yang memberi fatwa; hadza hasan (ini baik/boleh dikerjakan) dengan menggunakan dalil alqur’an alladzina yastami’uunal qaula fayattabi’uuna ahsanah , atau hadza birrun (ini baik) dengan berdasar pada ayat wa ta’aawanu ‘alalbirri wattaqwa , sementara jika mereka ditanya lebih jauh dan detil mengenai dasar yang tepat untuk apa yang mereka sebut dengan baik ataupun buruk, mereka bungkam dan tidak bisa berkata apa-apa .
Hal lain yang cukup memprihatinkan waktu itu adalah berkibarnya fanatisme kelompok dan madzhab di mana-mana. Madzhab Maliki menjadi madzhab yang dipeluk oleh sebagian besar masyarakat sejak zaman Hisyam al Awwal bin Abdurrahman al Dakhil yang berkuasa di Andalus pada tahun 173-180 H. Mereka fanatik sekali terhadap madzhab Maliki ini, bahkan tingkat fanatisme mereka digambarkan seperti; “mereka tidak lagi mengenal selain al-Qur’an dan al-Muwatha’ Imam Malik” . Madzhab-madzhab lain tidak diterima, orang-orang yang berbeda aliran madzhab dianggap sesat dan mendapat perlakuan yang kasar bahkan penyiksaan sehingga mengalami penderitaan yang cukup berat, seperti yang pernah dialami syaikh Baqiy bin Mukhlad* . Tentu saja hal ini bukan sesuatu yang diajarkan oleh imam Malik sendiri, karena beliau mengajarkan untuk menghargai ilmu yang dimiliki orang lain, seperti beliau menghargai imam Abu Hanifah .
Kecenderungan tersebut sangat dipengaruhi oleh perhatian mereka yang kuat terhadap persoalan-persoalan furu’ (cabang) dan melupakan hal-hal yang ushul (pokok) dalam agama. Karya-karya ulama salaf mereka curigai, sementara pendapat-pendapat ulama yang semasa mereka agungkan dan mereka bersihkan dari kemungkinan salah, bahkan keluar dari pendapat mereka sama dengan keluar dari agama .
Faktor terakhir inilah yang pada akhirnya menggerakkan Imam Syatibi untuk mengarang kitabnya yang monumental “al-Muwafaqat”, guna mempertemukan antara pandangan madzhab Hanafi dan madzhab Maliki , atau mencoba menjembatani dua aliran yang terkenal dengan sebutan aliran ra’yu (akal) dan nash (teks), juga ingin mengembalikan kesadaran masyarakat yang telah terbius dengan persoalan-persoalan cabang ke persoalan lebih fundamental dan pokok, serta mengungkap tujuan-tujuan dan hikmah yang ada dibalik syariah.
Sementara kitab “al-I’tisham” adalah jawaban beliau terhadap kegelisahan hatinya melihat penyimpangan-penyimpangan dan kemungkaran yang ada disekelilingnya.
Di samping kekacauan yang terjadi seperti di atas, tentu saja ada masa dan waktu dimana kedamaian serta perkembangan juga mendapat tempatnya. Misalnya pada tahun 750 H salah satu penguasa Bani Ahmar mendirikan madrasah pertama kali di Andalus yang dinamai dengan madrasah al Nashriyyah . Kemudian beragam ilmu pengetahuan seperti filsafat, manthiq, matematika, astronomi, kedokteran, dan lain-lain juga bisa ditemukan dalam masyarakat tersebut . Hal ini memperlihatkan adanya geliat ilmu pengetahuan pada masyarakat tersebut yang pada gilirannya juga menunjuk adanya suasana kodusif dalam masyarakat.

b. Guru-guru Imam Syatibi
Dalam sejarah, belum ditemukan catatan yang mengungkap bahwa imam Syatibi pernah mengadakan perjalanan ke luar Andalus, mengembara dari satu tempat ke tempat lain untuk menuntut ilmu pada mahaguru-mahaguru yang terkenal di daerah lain misalnya Madinah, Iraq, Mesir dan lain-lain seperti yang pada umumnya dilakukan oleh ulama-ulama dan para sarjana saat itu. Barangkali kita akan bertanya, faktor apa yang menyebabkan Imam Syatibi enggan meninggalkan daerahnya untuk mengembara mencari ilmu di tempat lain? Apakah karena alasan keluarga? Karena kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan? Ataukah karena ia sudah merasa puas dengan keilmuan ulama-ulama yang bisa ia temukan di daerahnya? Apapun jawabnya, yang jelas imam Syatibi tidak pernah berhenti belajar. Ia rajin menyerap ilmu dari ulama-ulama yang bisa ia datangi di daerahnya, ia juga sering mengadakan korespondensi dengan ulama-ulama yang berada di Tunis dan Maroko . Tentu saja ini adalah contoh konkrit bagi orang-orang yang haus ilmu namun memiliki keterbatasan-keterbatasan sehingga tidak bisa ke luar daerah untuk menuruti keinginannya menimba ilmu. Seolah-olah ia ingin mengajarkan kepada kita bahwa; “ruang tidak pernah membatasi orang untuk belajar dan mengembangkan diri”.

Diantara ulama-ulama yang menjadi guru beliau adalah:
1. Ibnu al Fakhhor al Biiri
Ia adalah guru Imam Syatibi dalam ilmu bahasa, sastra, dan qira’at. Dalam kitab Nafhu al thib, al Maqri melukiskan kedalaman ilmu bahasanya dengan la matma’a fihi lisiwahu (tidak ada tandingannya) . Ketika beliau wafat, orang-orang sangat sedih karena merasa kehilangan seorang ulama besar, termasuk imam Syatibi, bahkan ia sampai berdo’a supaya bisa dipertemukan oleh Allah SWT dengan gurunya tersebut dalam mimpinya sehingga tetap bisa mengambil faedah ilmunya . Beliau meninggal pada tahun 756 H .
2. Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al Maqri
Ia dilahirkan di Tilmisan. Kemudian ia mengembara ke timur dan sempat berguru kepada Ibnu Qoyyim al Jauziyyah (w. 751 H). Setelah itu ia kembali ke Maroko dan menetap di Fez menjadi qadli di sana. Ia terkenal dengan Malikinya Maroko. Pada tahun 757 H ia diutus oleh penguasa saat itu untuk mengajar di Granada. Ia mengajar hadits dan fiqh. Ia termasuk seorang sufi, salah satu karyanya dalam bidang tasawuf al Haqoiq wa al Raqoiq membuktikan hal itu. Ia lah orang yang memberi warna tasawuf dalam diri Imam Syatibi. Hubungan Imam Syatibi dengan gurunya ini sangat dekat sekali, hingga Imam Syatibi secara khusus mendapat sanad musalsal bilmusafahah (dengan bersalaman) dan sanad talqim (dengan menyuapi) yang para perawinya adalah orang-orang sufi semuanya. Al Maqri ini menghabiskan waktu kurang lebih dua tahun di Granada, kemudian kembali lagi ke Fez, dan meninggal di sana pada tahun 759 H.
3. Abu Said bin Lubb
Ia lahir pada tahun 701 H, dan wafat pada tahun 782 H, atau delapan tahun sebelum imam Syatibi wafat. Ia ahli fiqih waqi’i (kekinian) dan juga bahasa. Ia termasuk ulama yang sangat masyhur di Granada, karena ia adalah khatib di masjid agung Granada, menjadi mufti di daerah tersebut , dan menjadi pengajar pada madasah al Nashriyyah.
4. Abu Abdillah Muhammad bin Marzuq
Ia lahir di Tilmisan pada tahun 710 H. Ia termasuk salah satu ulama yang gemar bepergian dan pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Dan diantara tujuan yang membawanya sampai ke Granada adalah popularitas Ibnu al Fakhhor al Biiri dalam ilmu bahasa. Abu abdillah ini adalah seorang ulama yang ahli dalam fiqh hadits. Ia termasuk ulama yang disukai halaqohnya di Granada karena metode yang ia pakai, yaitu mengemukan nash-nash dalil kemudian menjelaskannya secara runtut. Imam Syatibi banyak belajar cara istimbath ahkam (mengeluarkan atau menghasilkan hukum) dari nash-nashnya melalui guru ini. Ia wafat pada tahun 781 H di Mesir .
Selain guru-gurunya di atas Imam Syatibi juga masih memiliki guru-guru lain dalam disiplin ilmu yang berbeda, diantaranya: Abu Ja’far Ahmad al Syakuri gurunya dalam ilmu faraidl, Abu al Hasan al Kuhaili gurunya dalam ilmu aljabar, dan lain lain . Hal ini menunjukkan bahwa Imam Syatibi adalah orang yang gemar dan rajin dalam mencari ilmu. Ia tidak hanya puas menguasai satu disiplin ilmu, namun juga berupaya menguasai ilmu apapun yang bisa ia temui dari guru-guru yang ada disekelilingnya. Inilah salah satu ciri ulama-ulama zaman dulu yang pada umumnya tidak hanya menguasai satu disiplin ilmu saja tetapi juga menguasai berbagai macam disiplin ilmu, karena semakin beragam ilmu yang dikuasai oleh seseorang maka wawasan yang ia miliki akan semakin bertambah luas dan sudut pandang yang ia miliki pun bertambah banyak. Apalagi jika dikaitkan dengan persoalan istimbath ahkam dan penerapannya dalam konteks kekinian, maka keragaman disiplin ilmu tersebut tidak bisa dielakkan.
Dan sayangnya, kecenderungan menguasai beragam disiplin ilmu seperti yang dimiliki oleh imam Syatibi ini semakin pudar dan menipis pada masa sekarang, diganti dengan kecenderungan spesialisasi.

c. Karya-karya Imam Syatibi
1. Al Muwafaqat
Kitab al Muwafaqat ini adalah karya imam Syatibi yang terbesar sekaligus terpopuler dibanding karya-karyanya yang lain. Terdiri dari empat juz. Pada awalnya kitab ini dinamakan ‘unwanu al ta’rif bi asrari al taklif, kemudian diganti dengan nama al Muwafaqat fi Ushul al Syari’ah. Kisah pergantian nama tersebut bermula ketika suatu saat imam Syatibi bertemu dengan salah satu gurunya, kemudian ia diberitahu oleh gurunya tersebut: kemarin saya bermimpi melihatmu membawa sebuah kitab karanganmu sendiri, kemudian kamu memberitahuku bahwa nama kitab tersebut adalah al Muwafaqat, lalu saya bertanya: kenapa namanya al Muwafaqat? Kemudian engkau menjawab: karena pada kitab tersebut engkau mencoba mempertemukan madzhab Hanafi dan Ibnu al Qasim . Lalu imam Syatibi berkata: mimpi guru benar adanya .
2. Al I’tisham
Kitab ini terdiri dari dua juz. Ia ditulis untuk mengingkari banyaknya penyimpangan-penyimpangan dan bid’ah yang berada disekelilingnya. Imam Syatibi wafat sebelum sempat menyelesaikan kitab ini.
3. Al Majalis
Kitab ini adalah penjelasan dari kitab al buyu’ dalam Sahih Bukhari. Kitab ini juga memuat catatan tentang apa-apa yang terjadi dalam majlis-majlis ilmu yang dihadiri oleh imam Syatibi.
4. Syarh al Khulashah
Kitab ini adalah kitab nahwu yang merupakan penjelasan dari kitab nahwu yang populer Alfiyah ibnu Malik. Terdiri dari lima jilid. Kitab ini masih berupa makhtutat (tulisan tangan asli) dan belum dicetak. Menurut Attanbakti, kitab ini merupakan syarh (penjelasan) terbaik dari kitab Alfiyah yang pernah ia temui .
5. Al Ifadat wa al Insyadat
Kitab ini seperti sebuah catatan harian, karena memuat tentang kisah perjalanan hidup imam Syatibi dan hal-hal yang pernah ia alami semasa hidup.
6. Unwan al Ittifaq fi Ilmi al Isytiqaq
Kitab ini merupakan kitab tentang ilmu sharf dan fiqh lughah. Sayang kitab ini sudah hilang saat imam Syatibi masih hidup.
7. Ushul al Nahwi
Seperti namanya, kitab ini memuat tentang kaidah-kaidah ushul dalam ilmu nahwu dan sharf. Sayang kitab ini juga hilang seperti kitab sebelumnya.

Oleh : Muhammad AmiruddiN,MA, Imam Syatibi dan peranannya dalam Maqshid Syariah.

[disampaikan pada diskusi reguler PCINU Sudan]

 

Tinggalkan komentar