#Maqashid : Sejarah Perkembangan Maqashid Syariah

Sejarah Perkembangan Maqashid Syariah


Seperti halnya tabiat perkembangan ilmu-ilmu lain yang melewati beberapa fase mulai dari pembentukan hingga mencapai kematangannya, ilmu Maqashid Syariah pun tidak lepas dari sunnah ini. Ia tidak lahir secara tiba-tiba di dunia dan menjadi sebuah ilmu seperti saat ini, tetapi ia juga melewati fase-fase seperti di atas.
Untuk lebih memudahkan dalam melihat fase perkembangan ini, maka saya akan membaginya menjadi dua fase; fase pra kodifikasi, dan fase kodifikasi.

1. Fase Pra Kodifikasi
Maqashid syariah sebenarnya sudah ada sejak nash al Qur’an diturunkan dan hadits disabdakan oleh Nabi. Karena maqashid syariah pada dasarnya tidak pernah meninggalkan nash, tapi ia selalu menyertainya. Seperti yang tercermin dalam ayat “wa ma arsalnaka illa rahmatan lil’alamin”, bahwa Allah SWT menurunkan syariatNya tidak lain adalah untuk kemaslahatan makhlukNya.
Oleh karena itu, setelah Nabi saw. wafat dan wahyu terputus, sementara persoalan hidup terus berkembang, dan masalah-masalah baru yang tidak pernah terjadi pada masa Nabi menuntut penyelesaian hukum, maka para sahabat mencoba mencari sandarannya pada ayat-ayat al Qur’an maupun hadits, dan jika mereka tidak menemukan nash yang sesuai dengan masalah tadi pada al Qur’an maupun hadits, maka mereka akan berijtihad mencari hikmah-hikmah dan alasan dibalik ayat maupun hadits yang menerangkan tentang suatu hukum, jika mereka menemukannya maka mereka akan menggunakan alasan dan hikmah tersebut untuk menghukumi persolan baru tadi.
Pada umumnya para sahabat tidak mengalami kesulitan dalam menghukumi suatu persoalan baru yang muncul, karena mereka sehari-hari telah bergaul dengan Rasulullah saw, mereka mengetahui peristiwa-peristiwa yang menjadi sebab diturunkannya sebuah ayat, mereka melihat bagaimana Nabi saw. menjalankan sesuatu atau meninggalkannya dalam situasi dan kondisi yang berlainan, mereka mengerti alasan kenapa Nabi saw. lebih mengutamakan sesuatu dari pada yang lain dan seterusnya, yang hal ini semua pada akhirnya mengkristal dan melekat dalam diri mereka hingga kemudian membentuk rasa dan mempertajam intuisi serta cara berpikir mereka seuai dengan maqashid syariah.
Diantara peristiwa-peristiwa baru yang muncul ketika masa sahabat dan tidak terjadi pada saat Nabi saw masih hidup antara lain; sebuah kisah tentang sahabat Umar ra. yang mendengar bahwa sahabat Hudzaifah telah menikah dengan seorang perempuan yahudi, kemudian sahabat Umar ra meminta sahabat Hudzaifah untuk menceraikannya. Karena sahabat Hudzaifah mengetahui bahwa pernikahan dengan ahli kitab diperbolehkan, maka iapun bertanya kepada sahabat Umar ra, a haramun hiya? (apakah perempuan itu haram bagi saya?), sahabat Umar ra. kemudian menjawab: tidak. Tapi saya kuatir ketika sahabat-sahabat lain melihat kamu menikahi perempuan yahudi tersebut mereka akan mengikutimu, karena pada umunya perempuan-perempuan yahudi lebih cantik parasnya, maka hal ini bisa menjadi fitnah bagi perempuan-perempuan muslim, serta menyebabkan munculnya free sex dan pergaulan bebas dalam masyarakat karena banyaknya perempuan muslim yang tidak laku .
Contoh lain; kesepakatan para sahabat untuk melarang Abu Bakar ra bekerja dan berdagang untuk mencari nafkah bagi keluarganya ketika ia menjabat sebagai khalifah, dan akan mencukupi kebutuhan hidupnya serta keluarganya dari uang negara, demi kemaslahatan rakyat sehingga ia tidak sibuk memikirkan urusannya sendiri dan menterlantarkan kepentingan rakyatnya .
Suatu saat Umar ra menjumpai orang yang menjual dagangannya di pasar dengan harga yang jauh lebih rendah dari harga umum. Maka ia kemudian mengancam orang tersebut dengan mengatakan; terserah kamu mau memilih, apakah barang daganganmu kamu naikkan seperti harga umum di pasar ini, atau kamu pergi membawa barang daganganmu dari pasar ini . Hal ini dilakukan Umar ra karena untuk menjaga stabilitas harga dan kemaslahatan umum.
Dan masih banyak lagi contoh lain seperti pembukuan al Qur’an, pembuatan mata uang dan sebagainya, yang mencerminkan kelekatan para sahabat dengan maqashid syariah.
Begitu pula ketika masa tabi’in, mereka bergerak dan melangkah pada jalan yang telah dilalui oleh guru-gurunya yaitu para sahabat. Sehingga corak yang terlihat dalam penggunaan maqashid syariah untuk menyelesaikan masalah-masalah baru pada masa ini masih sama dengan masa sebelumnya. Misalnya tentang masalah tas’ir (penetapan harga untuk menjadi patokan umum) ketika harga kebutuhan-kebutuhan naik. Rasulullah saw. sendiri enggan menetapkan harga meskipun waktu itu harga-harga naik, dengan memberi isyarat bahwa tas’ir mengandung unsur tidak rela dan pemaksaan terhadap orang untuk menjual harganya. Namun Sa’id bin al Musayyab, Rabi’ah bin Abdul Rahman dan lain-lain mengeluarkan fatwa boleh tas’ir dengan alasan kemaslahatan umum, serta menjelaskan alasan kengganan Rasul untuk tas’ir adalah tidak adanya tuntutan yang medesak waktu itu, karena naiknya harga-harga dipicu oleh perubahan kondisi alam, yaitu kemarau panjang yang terjadi waktu itu. Sementara pada masa tabi’in kenaikan harga dipicu oleh merebaknya penimbunan barang, kerakusan para pedagang, serta melemahnya kecenderungan beragama, sehingga hal ini menuntut penetapan harga umum untuk menjaga keseimbangan dan menghindari praktek penimbunan .
Masih banyak contoh yang lain namun tidak bisa saya kutip semua . Barangkali di sini, di satu sisi kita merasa menyesal karena melihat kesadaran yang dimiliki para tabi’in dalam menggunakan maqashid syariah tidak dibarengi dengan kesadaran mereka untuk membukukan ilmu ini menjadi sebuah disiplin yang kelihatan tanda-tandanya sehingga mudah dipelajari. Oleh karena itu masih jarang ditemukan pembukuan disiplin ilmu pada masa ini termasuk yang terkait dengan maqashid syariah. Meski di sisi yang lain kita juga tidak bisa menutup mata, situasi dan kondisi waktu itu juga memiliki perannya sendiri.

2. Fase Kodifikasi
Menurut al Raisuni; barangkali orang yang paling awal menggunakan kata maqashid dalam judul karangannya adalah al Hakim al Tirmidzi (w. 320 H), yakni dalam bukunya al Shalatu wa Maqasiduha .
Tapi jika kita menelusuri karangan-karangan yang sudah memuat tentang maqashid syari’ah, maka kita akan menemukannya jauh sebelum al Tirmidzi. Karena Imam Malik (w. 179 H) dalam Muwatta’nya sudah menuliskan riwayat yang menunjuk pada kasus penggunaan maqashid pada masa sahabat. Kemudian setelah itu diikuti oleh Imam Syafi’i (w. 204H) dalam karyanya yang sangat populer al Risalah, dimana ia telah menyinggung pembahasan mengenai ta’lil ahkam (pencarian alasan pada sebuah hukum), sebagian maqashid kulliyyah seperti hifdhu al nafs dan hifdhu al mal, yang merupakan cikal bakal bagi tema-tema ilmu maqashid.
Setelah Imam Syafi’i baru muncul al Hakim al Tirmidzi, disusul Abu Bakar Muhammad al Qaffal al Kabir (w. 365H) dalam kitabnya Mahasinu al Syariah, yang mencoba membahas alasan-alasan dan hikmah hukum supaya lebih mudah dipahami dan diterima oleh manusia. Kemudian datang setelahnya al Syaikh al Shaduq (w. 381H) dengan kitabnya Ilalu al Syarai’ wa al Ahkam, yang mengumpulkan riwayat-riwayat tentang ta’lilu al ahkam dari ulama-ulama Syiah, dan al ‘Amiri (w. 381H) dalam kitabnya al I’lam bi Manaqibi al Islam, meskipun kitab ini membahas tentang perbandingan agama, namun ia menyinggung tentang Dlaruriyyat al Khams (lima hal pokok yang dijaga dalam agama, yaitu; menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta) yang merupakan tema pokok dalam ilmu maqashid syariah.
Setelah itu datang Imam Haramain (w. 478H) dalam kitabnya al Burhan yang menyinggung tentang dlaruriyyat, tahsiniyat dan hajiyat, yang juga menjadi tema pokok dalam Ilmu Maqashid. Kemudian datang Imam Ghazali (w. 505H) yang membahas bebarpa metode untuk mengetahui maqashid, dan menawarkan cara untuk menjaga maqashid syariah dari dua sisi al wujud (yang mengokohkan eksistensinya) dan al ‘adam ( menjaga hal-hal yang bisa merusak maupun menggagalkannya). Kemudian imam al Razi (w. 606H), lalu imam al Amidi (w. 631H), dan ‘Izzuddin bin ‘Abd al Salam (w. 660H), kemudian al Qarafi (w. 684H), al Thufi (w. 716H), Ibnu al Taimiyyah (w. 728H), Ibnu al Qayyim al Jauziyyah (w. 751H), baru setelah itu disusul oleh imam al Syatibi .
Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa dalam ilmu maqashid syariah imam Syatibi melanjutkan apa yang telah dibahas oleh ulama-ulama sebelumnya. Namun apa yang dilakukan oleh imam Syatibi bisa menarik perhatian banyak pihak karena ia mengumpulkan persoalan-persoalan yang tercecer dan dibahas sepotong-sepotong oleh orang-orang sebelumnya menjadi sebuah pembahasan tersendiri dalam kitabnya al Muwafaqat dimana ia mengkhususkan pembahasan mengenai maqashid ini satu juz (yaitu juz dua) dari empat juz isi kitabnya. Ia juga mengembangkan dan memperluas apa yang telah dibahas oleh ulama-ulama sebelumnya mengenai maqashid ini, juga menyusunnya secara urut dan sistematis seperti sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri, sehingga lebih mudah untuk dipelajari. Hal inilah yang menjadi kontribusi signifikan imam Syatibi dalam ilmu maqashid syariah, sehingga amal yang dilakukannya menyadarkan banyak pihak tentang pentingnya maqashid ini, serta memberi inspirasi banyak orang untuk membahas maqashid syariah ini lebih jauh, hingga Ibnu ‘Asyur (w. 1393H) pada akhirnya mepromosikan maqashid syariah ini sebagai sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri.

Oleh : Muhammad AmiruddiN,MA, Imam Syatibi dan peranannya dalam Maqshid Syariah.[disampaikan pada diskusi reguler PCINU Sudan]

Tinggalkan komentar